إلهي أنت مقصودي ورضاك مطلوبي

أعطنى محبتك ورحمتك ولا حول ولا قوة إلا بالله

Wednesday, December 16, 2009

Ibnu Taimiyah Membungkam Wahhabi

Belakangan ini kata 'salaf' semakin populer. Bermunculan pula
kelompok yang mengusung nama salaf, salafi, salafuna, salaf shaleh
dan derivatnya. Beberapa kelompok yang sebenarnya berbeda prinsip
saling mengklaim bahwa dialah yang paling sempurna mengikuti jalan
salaf. Runyamnya jika ternyata kelompok tersebut berbeda dengan
generasi pendahulunya dalam banyak hal. Kenyataan ini tak jarang
membuat umat islam bingung, terutama mereka yang masih awam. Lalu
siapa pengikut salaf sebenarnya? Apakah kelompok yang konsisten
menapak jejak salaf ataukah kelompok yang hanya menggunakan nama
salafi?.
Tulisan ini mencoba menjawab kebingungan di atas dan menguak siapa
pengikut salaf sebenarnya.
Istilah salafi berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu.
Menurut ahlussunnah yang dimaksud salaf adalah para ulama' empat
madzhab dan ulama sebelumnya yang kapasitas ilmu dan amalnya tidak
diragukan lagi dan mempunyai sanad (mata rantai keilmuan) sampai pada
Nabi SAW.
Namun belakangan muncul sekelompok orang yang melabeli diri dengan
nama salafi dan aktif memakai nama tersebut pada buku-bukunya.
Kelompok yang berslogan "kembali" pada Al Qur'an dan sunnah tersebut
mengaku merujuk langsung kepada para sahabat yang hidup pada masa
Nabi SAW, tanpa harus melewati para ulama empat madzhab.
Bahkan menurut sebagian mereka, diharamkan mengikuti madzhab
tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz
dalam salah satu majalah di Arab Saudi, dia juga menyatakan tidak
mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Pernyataan di atas menimbulkan pertanyaan besar di kalangan umat
islam yang berpikir obyektif. Sebab dalam catatan sejarah, ulama-
ulama besar pendahulu mereka adalah penganut madzhab Imam Ahmad bin
Hanbal. Sebut saja Syekh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab,
Ibnu Abdil Hadi, Ibnu Qatadah, kemudian juga menyusul setelahnya Al
Zarkasyi, Mura'i, Ibnu Yusuf, Ibnu Habirah, Al Hajjawiy, Al Mardaway,
Al Ba'ly, Al Buhti dan Ibnu Muflih. Serta yang terakhir Syekh
Muhammad bin Abdul Wahhab beserta anak-anaknya, juga mufti Muhammad
bin Ibrahim, dan Ibnu Hamid. Semoga rahmat Allah atas mereka semua.
Ironis sekali memang, apakah berarti Imam Ahmad bin Hanbal dan para
imam lainnya tidak berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah?
sehingga kelompok ini tidak perlu mengikuti para pendahulunya dalam
bermadzhab?. Apabila mereka sudah mengesampingkan kewajiban
bermadzhab dan tidak mengikuti para salafnya, layakkah mereka
menyatakan dirinya salafy?
Belum lagi aksi manipulasi mereka terhadap ilmu pengetahuan. Mereka
memalsukan sebagian dari kitab kitab karya ulama' salaf. Sebagai
contoh, kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi cetakan Darul Huda,
Riyadh, 1409 H, yang ditahqiq oleh Abdul Qadir Asy Syami. Pada
halaman 295, pasal tentang ziarah ke makam Nabi SAW, dirubah judulnya
menjadi pasal tentang ziarah ke masjid Nabi SAW. Beberapa baris di
awal dan akhir pasal itu juga dihapus. Tak cukup itu, mereka juga
dengan sengaja menghilangkan kisah tentang Al Utbiy yang diceritakan
Imam Nawawi dalam kitab tersebut.
Untuk diketahui, Al Utbiy (guru Imam Syafi'i) pernah menyaksikan
seorang arab pedalaman berziarah dan bertawassul kepada Nabi SAW.
Kemudian Al Utbiy bermimpi bertemu Nabi SAW, dalam mimpinya Nabi
menyuruh memberitahukan pada orang dusun tersebut bahwa ia diampuni
Allah berkat ziarah dan tawassulnya. Imam Nawawi juga menceritakan
kisah ini dalam kitab Majmu' dan Mughni.
Pemalsuan juga mereka lakukan terhadap kitab Hasyiah Shawi atas
Tafsir Jalalain dengan membuang bagian-bagian yang tidak cocok dengan
pandangannya. Hal itu mereka lakukan pula terhadap kitab Hasyiah Ibn
Abidin dalam madzhab Hanafi dengan menghilangkan pasal khusus yang
menceritakan para wali, abdal dan orang-orang sholeh.
Parahnya, kitab karya Ibnu Taimiyah yang dianggap sakral juga tak
luput dari aksi mereka. Pada penerbitan terakhir kumpulan fatwa Syekh
Ibnu Taimiyah, mereka membuang juz 10 yang berisi tentang ilmu suluk
dan tasawwuf. (Alhamdulilah, penulis memiliki cetakan lama)
Bukankah ini semua perbuatan dzalim? Mereka jelas-jelas melanggar hak
cipta karya intelektual para pengarang dan melecehkan karya-karya
monumental yang sangat bernilai dalam dunia islam. Lebih dari itu,
tindakan ini juga merupakan pengaburan fakta dan ketidakjujuran
terhadap dunia ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi sikap
transparansi dan obyektivitas.

MENGIKUTI SALAF?
Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan masalah tasawwuf,
maulid, talqin mayyit, ziarah dan lain-lain yang terdapat dalam kitab-
kitab para ulama pendahulu wahhabi. Ironisnya, sikap mereka sekarang
justru bertolak belakang dengan pendapat ulama mereka sendiri.
Pertama, tentang tasawuf. Dalam kumpulan fatwa jilid 10 hal 507 Syekh
Ibnu Taimiyah berkata, "Para imam sufi dan para syekh yang dulu
dikenal luas, seperti Imam Juneid bin Muhammad beserta pengikutnya,
Syekh Abdul Qadir al-Jailani serta lainnya, adalah orang-orang yang
paling teguh dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, kalam-kalamnya secara keseluruhan
berisi anjuran untuk mengikuti ajaran syariat dan menjauhi larangan
serta bersabar menerima takdir Allah.
Dalam "Madarijus salikin" hal. 307 jilid 2 Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
berkata, "Agama secara menyeluruh adalah akhlak, barang siapa
melebihi dirimu dalam akhlak, berarti ia melebihi dirimu dalam agama.
Demikian pula tasawuf, Imam al Kattani berkata, "Tasawwuf adalah
akhlak, barangsiapa melebihi dirimu dalam akhlak berarti ia melebihi
dirimu dalam tasawwuf."
Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam kitab Fatawa wa Rosail hal.
31 masalah kelima. "Ketahuilah -mudah-mudahan Allah memberimu
petunjuk - Sesungguhnya Allah SWT mengutus Nabi Muhammad dengan
petunjuk berupa ilmu yang bermanfaat dan agama yang benar berupa amal
shaleh. Orang yang dinisbatkan kepada agama Islam, sebagian dari
mereka ada yang memfokuskan diri pada ilmu dan fiqih dan sebagian
lainnya memfokuskan diri pada ibadah dan mengharap akhirat seperti
orang-orang sufi. Maka sebenarnya Allah telah mengutus Nabi-Nya
dengan agama yang meliputi dua kategori ini (Fiqh dan tasawwuf)".
Demikianlah penegasan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa ajaran
tasawuf bersumber dari Nabi SAW.

Kedua, mengenai pembacaan maulid. Dalam kitab Iqtidha' Sirathil
Mustaqim Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun mengagungkan maulid dan
menjadikannya acara rutinan, segolongan orang terkadang melakukannya.
Mereka mendapat pahala yang besar karena tujuan baik dan
pengagungannya terhadap Rasulullah SAW."

Ketiga, tentang hadiah pahala, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barang
siapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang
meninggal maka ia termasuk ahli bid'ah.
Dalam Majmu' fatawa juz 24 hal306 ia menyatakan, "Para imam telah
sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah pahala orang
lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan
telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma' (konsensus
ulama'). Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli
bid'ah".
Lebih lanjut pada juz 24 hal 366 Ibnu Taimiyah menafsirkan firman
Allah
"dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya." (QS an-Najm [53]: 39)
ia menjelaskan, Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa
mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang
hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang
lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta
orang lain apabila dihadiahkan kepadanya.
Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia
berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kubur.
Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh
kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain"
Dalam kitab Ar-Ruh hal 153-186 Ibnul Qayyim membenarkan sampainya
pahala kepada orang yang telah meninggal. Bahkan tak tangung-tanggung
Ibnul Qayyim menerangkan secara panjang lebar sebanyak 33 halaman
tentang hal tersebut.

Keempat, masalah talqin. Dalam kumpulan fatwa juz 24 halaman 299 Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa sebagian sahabat Nabi SAW melaksanakan
talqin mayit, seperti Abu Umamah Albahili, Watsilah bin al-Asqa' dan
lainnya. Sebagian pengikut imam Ahmad menghukuminya sunnah. Yang
benar, talqin hukumnya boleh dan bukan merupakan sunnah. (Ibnu
Taimiyah tidak menyebutnya bid'ah)
Dalam kitab AhkamTamannil Maut Muhammad bin Abdul Wahhab juga
meriwayatkan hadis tentang talqin dari Imam Thabrani dalam kitab Al
Kabir dari Abu Umamah.

Kelima, tentang ziarah ke makam Nabi SAW. Dalam qasidah Nuniyyah
(bait ke 4058) Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ziarah ke makam Nabi SAW
adalah salah satu ibadah yang paling utama
"Diantara amalan yang paling utama dalah ziarah ini.
Kelak menghasilkan pahala melimpah di timbangan amal pada hari
kiamat".
Sebelumnya ia mengajarkan tata cara ziarah (bait ke 4046-4057).
Diantaranya, peziarah hendaklah memulai dengan sholat dua rakaat di
masjid Nabawi. Lalu memasuki makam dengan sikap penuh hormat dan
takdzim, tertunduk diliputi kewibawaan sang Nabi. Bahkan ia
menggambarkan pengagungan tersebut dengan kalimat "Kita menuju makam
Nabi SAW yang mulia sekalipun harus berjalan dengan kelopak mata
(bait 4048).
Hal ini sangat kontradiksi dengan pemandangan sekarang. Suasana
khusyu' dan khidmat di makam Nabi SAW kini berubah menjadi seram.
Orang-orang bayaran wahhabi dengan congkaknya membelakangi makam Nabi
yang mulia. Mata mereka memelototi peziarah dan membentak-bentak
mereka yang sedang bertawassul kepada beliau SAW dengan tuduhan
syirik dan bid'ah. Tidakkah mereka menghormati jasad makhluk termulia
di semesta ini..? Tidakkah mereka ingat firman Allah "Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara
Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras,
sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap yang lain, supaya
tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
"Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi
Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka
oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar"
(QS Al Hujarat, 49: 2-3).
Data-data di atas adalah sekelumit dari hasil penelitian obyektif
pada kitab-kitab mereka sendiri, sekedar wacana bagi siapa saja yang
ingin mencari kebenaran. Mudah mudahan dengan mengetahui tulisan-
tulisan pendahulunya, mereka lebih bersikap arif dan tidak arogan
dalam menilai kelompok lain.
(Ibnu KhariQ)

Referensi
- Majmu' fatawa Ibn Taimiyah
- Qasidah Nuniyyah karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
- Iqtidha' Shirathil Mustaqim karya Ibn Taimiyah cet. Darul Fikr
- Ar-Ruh karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, cet I Darul Fikr 2003
- Ahkam Tamannil Maut karya Muhammad bin Abdul Wahhab, cet. Maktabah
Saudiyah Riyadh Nasihat li ikhwanina ulama Najd karya Yusuf Hasyim
Ar-Rifa'i

Diambil dari rubrik Ibrah, Majalah Dakwah Cahaya Nabawiy Edisi 60 Th.
IV Rabi'ul Awwal 1429 H / April 2008 M

No comments:

Post a Comment